UU No. 31/2014: Korban HAM Berat dan Terorisme Berhak Atas Kompensasi
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI pada Rabu (24/9) lalu, telah resmi diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 17 Oktober 2014.
Dalam Undang-Undang (UU) ini disebutkan, saksi dan korban yang terkait dengan kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, memiliki sejumlah hak antara lain: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
Selain itu b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah; e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus dan putusan pengadilan; g. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; h. Dirahasikan identitasnya; dan i. Mendapat identitas baru.
“Hak sebagaimana dimaksud diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” bunyi Pasal 5 Ayat 2 UU tersebut.
Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu, dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
UU ini juga menegaskan, bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban pengaiayaan berat, juga berhak mendapatkan bantuan medis, dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Dalam Pasal 7 UU ini juga ditegaskan, bahwa steiap korban pelanggaran HAM berat dan korban tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis, juga berhak atas kompensasi.
“Kompensasi diajukan oleh Korban, Keluarga atau kuasanya kepada Pengadilan HAM melalui LPSK,” bunyi Pasal 7 Ayat (2) UU No 31 Tahun 2014 itu.
Adapun korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa: a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Menurut UU ini, Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.
“Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap,” bunyi Pasal 10 Ayat (2) UU tersebut.
Sementara dalam ketentuan berikutnya disebutkan, Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikannya.
Penanganan khusus itu misalnya pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; pemisahan pemberkasan dengan berkas tersangka; dan memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa.
Adapun pemberian penghargaan yang diberikan dapat berupa keringanan penjatuhan hukuman, atau pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
UU ini juga mengatur sanksi bagi yang memaksakan kehendaknya yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban, tidak memperoleh perlindungan mulai dari pidana 5 (lima) tahun dan pidana Rp 200 juta sampai dengan pidana seumur hidup dan denda paling banyak Rp 500 juta.