Muhammadiyah Tegaskan UU Perkawinan Tak Akui Kawin Beda Agama
Materi muatan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengisyaratkan bahwa hukum positif tidak mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama. Karenanya, model perkawinan seperti ini tidak bisa didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam, tetapi bisa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS) sebagaimana penduduk nonmuslim lainnya.
Pandangan itu disampaikan Ketua Bantuan Hukum PP Muhammadiyah Syaiful Bakhri selaku pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang dimohonkan seorang mahasiswa dan empat alumnus FHUI di ruang sidang MK, Rabu (22/10). Selain Muhammadiyah, sejumlah LSM diantaranya HRWG, ILRC yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Kebhinnekaan pun memberi keterangan sebagai pihak terkait.
Syaiful menilai norma Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini tidak mengandung pelanggaran HAM atau hak konstitusional warga negara seperti didalilkan para pemohon. Sebab, jika perkawinan tidak didasarkan agama dan kepercayaan justru bertentangan prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa seperti termuat dalam dengan Pembukaan UUD 1945 dan konstitusi.
“Sedangkan, menurut Islam berkenaan syarat sah pernikahan yang seagama merupakan hak Allah. Jaid kami mohon majelis agar majelis menolak permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini,” kata Syaiful di hadapan majelis yang dipimpin Hamdan Zoelva.
Dia melanjutkan merujuk hasil Keputusan Muktamar Tarjih ke-22 Tahun 1989 di Malang Jawa Timur menyimpulkan para ulama sepakat seorang wanita muslimah haram menikah laki-laki nonmuslim. Sebaliknya, laki-laki muslim haram menikahi wanita musyrikah (Budha, Hindu, Konghuchu). Hal itu ditegaskan dalam surat Al-Baqarah (2) : 221.
Pihaknya tak menampik adanya perselisihan/perbedaan pandangan para ulama terkait kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani : Katolik/Protestan). Sebagian ulama membolehkan perkawinan ini dengan bersandarkan pada surat Al-Maidah (5) : 5, sebagian ulama lainnya melarang.
Namun, Muhammadiyah men-tarjih (menguatkan) pandangan yang melarang bahwa ahlul kitab zaman Nabi SAW dan sekarang berbeda, ahlul kitab saat ini jelas-jelas musyrik (menyekutukan Allah). Pernikahan beda agama pun dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah sebagaimana tujuan utama pernikahan.
Meski sebagai ulama berpandangan laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahlul kitab, pihaknya tetap tidak menganjurkan menikahi ahlul kitab. Sebab, syarat al-ihshan yang dimaksud surat Al-Maidah yakni wanita baik-baik yang bisa menjaga kehormatannya, bukan wanita pezina sulit untuk dipenuhi.
Kekosongan Hukum
Sementara Tim Advokasi untuk Kebhinnekaanberpandangan sebaliknya. Mereka mengakui UU Perkawinan memang tidak mengakomodir perkawinan antar agama, sehingga menimbulkan kekosongan dan ketidakpastian hukum. Padahal, faktanya terdapat warga negara yang menjalin hubungan dan membentuk keluarga dengan warga negara yang berbeda agama/keyakinan.
Akibatnya, Pasal 2 ayat (1) menimbulkan penafsiran berbeda-beda terutama bagi petugas KCS di masing-masing daerah. Misalnya, ada KCS yang menolak mencatatkan perkawinan beda agama karena takut melanggar Pasal 2 ayat (1); ada KCS yang mencatatkan perkawinan beda agama berdasarkan Pasal 1 Regeling ops Gemengde Huwelijken Stbld 1898 No. 158 yang belum secara tegas dicabut.
“Ada KCS baru mau mencatatkan perkawinan beda agama setelah pihak-pihak dengan akta notaris menundukkan diri secara sukarela kepada hukum untuk perkawinan Kristen,” ujar kuasa hukum Tim Advokasi untuk Kebhinnekaan, Uli Parulian Sihombing saat menyampaikan keterangannya.
Terkait soal ini, Tim Advokasi pun menyodorkan bukti putusan MA bernomor 1400 K/Pdt/1986 yang dimohonkan Andi Vonny Gani P yang ditolak kawin beda agama oleh KCS. Dalam pertimbangannya disebutkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak mengatur perkawinan antaragama, sehingga terjadi kekosongan hukum. Akibatnya, terjadi penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial, agama, atau hukum-hukum positif.
“Putusan itu, MA memerintahkan KCS untuk menikahkan dan mencatatkan perkawinan pemohon dan calon pasangannya karena di masa depan akan banyak permasalahan hukum terkait perkawinan antar agama,” ujarnya mengutip pertimbangan putusan MA itu.
Sebelumnya, seorang mahasiswa dan empat alumnus FHUI mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Ketentuan itu, berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan. Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum.
Alhasil, pasangan kawin beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karenanya, ada permintaan agar MK membuat tafsir.