JAKARTA--PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk kembali lolos dari ancaman pailit setelah Mahkamah Agung menolak upaya kasasi yang diajukan oleh PT Asuransi Central Asia.
Berdasarkan situs resmi Mahkamah Agung (MA), PT Asuransi Central Asia (ACA) mengajukan permohonan kasasi lantaran tidak puas terhadap putusan pembatalan perjanjian perdamaian di tingkat pengadilan niaga.
Majelis hakim agung yang terdiri dari Nurul Elmiyah, Hamdi, dan Mahdi S. Nasution menetapkan putusan pada 20 Oktober 2015. Ketiganya sepakat untuk menolak permohonan kasasi ACA dengan nomor register 552 K/Pdt.Sus-Pailit/2015.
Menanggapi hal tersebut, kuasa hukum ACA Hendro Saryanto mengaku belum mendapatkan salinan putusan resmi dari MA. Namun, pihaknya telah mengetahui amar putusan tersebut.
"Kami belum bisa berkomentar banyak dan masih akan membaca salinan putusan majelis hakim agung terlebih dulu," kata Hendro kepada Bisnis.com, Selasa (1/12/2015).
Dia mempertanyakan pertimbangan putusan MA yang justru menguatkan putusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Menurutnya, banyak pertimbangan majelis hakim yang dinilai keliru, terutama mengenai sejumlah bukti yang dijadikan dasar putusan.
Pihaknya tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali jika ternyata ditemukan adanya kekeliruan maupun kekhilafan majelis hakim agung dalam pertimbangannya.
Sementara itu, kuasa hukum PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk (APOL) Hotman P. Hutapea menyambut positif putusan MA tersebut. Permohonan pembatalan perjanjian perdamaian yang diajukan ACA memang sudah prematur sejak awal.
"Menurut analisa saya selain prematur, permohonan mereka bertentangan dengan perjanjian perdamaian," kata Hotman melalui pesan singkat.
Dalam perkara ini, ACA berniat membatalkan perjanjian perdamaian No. 23/Pdt.Sus/PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst setelah APOL diklaim telah gagal bayar. Namun, ketua majelis hakim Titik Tedjaningsih menolak permohonan tersebut.
Alasannya, kedua pihak baik ACA dan APOL bersama dengan kreditur yang lain telah menyetujui dan menandatangani perjanjian tersebut. Termohon juga telah melaksanakan pembayaran cicilan selama 13 kali setelah perjanjian disahkan (homologasi).
Titik mendasarkan putusannya pada pasal 2.6 dalam perjanjian perdamaian.
Dalam pasal 2.6 Tentang Perubahan dijelaskan bahwa setiap ketentuan rencana perdamaian dapat diubah atau dikesampingkan berdasarkan usulan dari perseroan dan persetujuan perseroan dengan kreditur mayoritas dan setiap perubahan atau pelepasan hak tersebut akan mengikat perseroan dan seluruh kreditur.
ACA berpendapat pasal 2.6 maupun seluruh isi perjanjian perdamaian tidak mengatur mengenai klausul gagal bayar. Adapun, para pihak membahas mengenai wanprestasi pada pasal 2.8.
Menurutnya, gagal bayar sudah diatur dalam pasal 170 Undang-undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yakni kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.
Dalam ayat 2 pasal tersebut, debitur wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi. Pengadilan berwenang memberikan kesempatan bagi debitur untuk melakukan pembayaran paling lambat selama 30 hari sejak putusan dibacakan.
Adanya Pasal 2.6 tersebut bisa menjadikan APOL memiliki kekebalan hukum kendati terbukti kembali gagal bayar. Perusahaan jasa angkutan laut milik publik tersebut bisa menjalani proses restrukturisasi utang kembali di luar persidangan.
Rio Sandy Pradana
Editor : Hendri Tri Widi Asworo