NEWS
Minta Revisi UU Kepailitan, Simak Alasannya
JAKARTA—Sejumlah kalangan meminta pemerintah merevisi UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
 
Alasannya, beleid tersebut sudah tidak sejalan dengan aturan berbisnis di Indonesia saat ini. UU tersebut awalnya lahir untuk merespons krisis moneter pada 1998.
 
Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Ricardo Simanjuntak menerangkan penyelesaian perkara kepailitan menjadi titik penting untuk meningkatkan kemudahan berbisnis di Indonesia.
 
Pasalnya, hal tersebut menjadi acuan investor untuk memastikan apakah utang dapat dibayarkan, dan memastikan apakah perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan mempunyai mekanisme untuk direstruktur utangnya.
 
Selain itu, penyelesaian perkara kepailitan dapat menggambarkan apakah mekanisme penyelesaian likuidasi dapat diselesaikan secara transparan dengan hasil yang terbaik.
 
“Ada beberapa poin krusial yang harus diubah dari UU Kepailitan dan PKPU,” tuturnya kepada Bisnis, Sabtu (8/4/2017).
 
Ricardo menambahkan, salah satu kelemahan UU Kepailitan dan PKPU terletak pada pasal 222 ayat (3) mengenai PKPU yang diajukan oleh kreditur. Padahal PKPU sejatinya harus diajukan sendiri oleh debitur atau perusahaan yang berhutang. Pasalnya, debitur adalah pihak yang mengetahui dan mengakui kondisi keuangan perseroan.
 
Dia berujar nafas dari restrukturisasi utang , adalah upaya penyehatan keuangan debitur. Lantas, lanjutnya, apa gunanya menyehatkan perusahaan yang tidak mungkin disehatkan seolah kreditur mengetahui kondisi keuangan debitur.
 
“Oleh karena itu, tidak jarang permohonan PKPU bukan bertujuan merestrukturisasi utang tetapi membunuh usaha debitur,”.
 
Selama ini, restrukturisasi utang seluruhnya dibebankan kepada debitur. Seharusnya, apabila kreditur yang mengajukan permohonan PKPU maka dia lah yang meyakini keuangan debitur dan seharusnya kreditur lah yang mengusulkan proposal perdamaian , bukan debitur.
 
Dia menyebut Indonesia adalah negara yang masih menganut pola permohonan PKPU diajukan oleh kreditur. Padahal beberapa negara seperti Inggris, Belanda dan Singapura menolak dalil aturan tersebut, dan menyatakan permohonan PKPU harus diajukan oleh debitur itu sendiri.
 
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Peradi ini juga mengatakan UU Kepailitan dan PKPU harus mengatur kejelasan megenai hak-hak kreditur separatis, hak tagih pajak dan hak buruh. Bagaimana hak kreditur separatis terhadap tagihan pajak dan buruh ketika separatis berhasuil menjual collateral tanpa bantuan kurator.
 
Selain itu, pengadilan niaga juga harus jelas menyikapi adanya dugaan kreditur fiktif dan tatacara pemeriksaanya. Serta, kejelasan batas kewenangan kurator dan pihak kepolisian terhadap boedel pailit.
 
“Masih banyak pasal-pasal kontradiktif yang harus dibenahi," pungkasnya.
 
Oleh : Deliana Pradhita Sari
Editor : Linda Teti Silitonga
Sumber: bisnis.com, Sabtu, April 08/2017 10:59 WIB
DEDY A. PRASETYO & REKAN
Gedung Arva Lt.3
Jl. Cikini Raya No. 60, Jakarta 10330
Tel : +62 21 314 7154
Fax : +62 21 390 3994
Mobile : +62 0811 903 286
E-mail : deape.prasetyo@gmail.com

Copyright © 2014. All Rights Reserved
Link Sosial Media