JAKARTA — PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia terancam berstatus pailit setelah mayoritas krediturnya menolak rencana perdamaian dalam proses restrukturisasi utang.
Salah satu pengurus restrukturisasi utang PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia (RJTMI) Luhut M. Ompusunggu mengatakan pemungutan suara atau voting atas rencana perdamaian dilakukan setelah sebelumnya kreditur juga menolak usulan perpanjangan masa restrukturisasi utang.
“Mayoritas kreditur separatis dan konkuren tidak setuju, sehingga tidak memenuhi syarat tercapainya sebuah perdamaian,” kata Luhut dalam rapat, Rabu (7/12).
Dia memerinci sebanyak 83% suara kreditur separatis dan 88% suara kreditur konkuren menyatakan menolak rencana perdamaian. Berdasarkan Undang-undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), kondisi tersebut menyebabkan debitur berisiko dinyatakan pailit.
Pihaknya menuturkan debitur sebenarnya telah menawarkan adanya rencana perdamaian dalam rapat tersebut. Akan tetapi, kreditur merasa proposal tersebut tidak menarik.
Debitur, lanjutnya, berencana menyelesaikan pembayaran terhadap tagihan kreditur konkuren selama 10 tahun. Namun, RJTMI tidak menjelaskan secara terperinci mengenai sumber dana yang digunakan untuk menyelesaikan utang.
Para kreditur juga menilai tenor pembayaran utang yang ditawarkan terlalu lama. Selain itu, debitur dinilai sudah tidak memiliki proyek apapun untuk menghidupkan kembali operasional usahanya.
Penilaian tersebut membuat usulan perpanjangan masa PKPU selama 40 hari dari debitur menjadi sia-sia. Padahal, debitur berkeinginan untuk kembali memperbaiki proposal tersebut dan masih mengupayakan terciptanya perdamaian.
Tim pengurus menuturkan laporan hasil pemungutan suara akan segera disampaikan kepada hakim pengawas untuk diteruskan kepada majelis hakim pemutus. Adapun, sidang permusyawaratan majelis hakim terkait dengan putusan akan dilaksanakan pada 13 Desember 2016.
Berdasarkan catatan tim pengurus, tagihan debitur mencapai Rp358,78 miliar yang terdiri dari tagihan kreditur separatis Rp177,34 miliar dan kreditur konkuren Rp181,44 miliar. PT Bank Maybank Indonesia Tbk dan PT Capitalinc Finance menjadi kreditur separatis.
Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum debitur Joko Dharmojo mengaku kecewa dengan sikap kreditur yang enggan memberikan kesempatan. Padahal, pihak debitur sudah berusaha keras untuk mencapai perdamaian.
“Kami sudah mencari investor, tetapi kondisi industri yang sedang lesu membuat proses tersebut sulit,” katanya.
Dia mengakui kliennya tidak memiliki banyak aset untuk dijadikan boedel pailit. Aset perusahaan yang tercatat hanya berupa rig dan alat-alat pengeboran di Muara Badak, Kalimantan Timur.
Debitur yang merupakan kontraktor minyak dan gas tersebut dimohonkan restrukturisasi utang melalui perkara No. 108/Pdt.Sus-PKPU/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst sejak 3 Oktober 2016. Adapun, permohonan yang diajukan oleh PT Hutama Rigindo Mas dan PT Karya Semesta Agung dikabulkan pada 28 Oktober 2016.
Saat itu, ketua majelis hakim John T. Hutahuruk mengangkat Daniel Alfredo, Adhiguna Herwinda, dan Luhut selaku tim pengurus serta menunjuk Desbenneri Sinaga selaku hakim pengawas.
RESTRUKTURISASI TRIPUTRA
Sementara itu, dalam perkara restrukturisasi yang berbeda, PT Triputra Karya Agung meminta para kreditur untuk mencabut laporan kepolisian yang diajukan terhadap debitur karena berisiko menghambat proses PKPU.
Kuasa hukum Triputra Dimas A. Pamungkas mengatakan laporan kepolisian yang diajukan ke sejumlah Polda telah mengganggu. Alasannya, dewan direksi sedang menjalin hubungan dengan calon investor guna penyelesaian seluruh tagihan.
“Kami meminta kreditur bisa mencabut laporan tersebut sambil debitur menyusun revisi rencana perdamaian,” kata Dimas dalam rapat, kemarin.
Dia mengaku belum bisa menawarkan rencana perdamaian yang baru karena mengalami beberapa kendala lain. Salah satunya, perwakilan calon investor yang sedianya akan bernegosiasi sedang dirawat di rumah sakit.
Terlebih, proses uji tuntas (due dilligent) juga masih dilakukan. Debitur dan calon investor telah sepakat untuk menunda proses negosiasi hingga kedua pihak bisa bertemu kembali.
Menurutnya, pertemuan tersebut sangat penting karena debitur akan menyesuaikan isi rencana perdamaian sesuai dengan penawaran investor. “Kalau laporan polisi tidak dicabut status debitur berisiko dinaikkan dan menghambat penyusunan rencana perdamaian.”
Dalam kesempatan yang sama, salah satu pengurus restrukturisasi utang debitur Kristandar Dinata mengatakan total tagihan yang terdaftar mencapai Rp257,78 miliar. Selain itu, masih terdapat tagihan baru yang diajukan oleh 18 kreditur konkuren dan satu kreditur preferen senilai Rp24,22 miliar.
“Jumlah itu belum termasuk kreditur separatis yang tidak mengajukan tagihan sampai saat ini, yaitu Bank Panin,” kata Kristandar dalam rapat.
Rio Sandy Pradana
Editor : Gita Arwana Cakti
Sumber: bisnis.com, Kamis, 08/12/2016 09:35 WIB