JAKARTA. Rabu (9/10) besok, pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) enam entitas Duniatex akan menggelar rapat kreditur perdananya di Pengadilan Niaga Semarang. Sejumlah bank yang jadi krediturnya berharap proses PKPU bisa berakhir dengan perdamaian alias homologasi agar recovery bisa optimal.
Asal tahu, proses PKPU bisa berujung kepailitan jika tak berakhir dengan homologasi. Jika diputuskan pailit, Duniatex akan dilikuidasi dan mesti melego semua aset-asetnya untuk membayar utang kepada kreditur. Biasanya proses kepailitan memberikan nilai pemulihan kredit minim.
Baca Juga: PKPU Duniatex dikabulkan, rapat kreditur perdana akan digelar Rabu (9/10) pekan depan
“Kami akan mengikuti perkembangan PKPU terlebih dahulu. Kalau arahnya perdamaian kami tentu optimis recovery yang didapat akan optimal,” kata Direktu Bisnis SME dan Komersial PT Bank BNI Syariah Dhias Widhiyati kepada Kontan.co.id, Selasa (8/10).
Dari laporan Debtwire, BNI Syariah hingga Maret 2019 tercatat masih punya eksposur pembiayaan ke PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) senilai US$ 21 juta atau setara Rp 300 miliar. Atas eksposur tersebut, perseroan memiliki jaminan berupa tanah dan bangunan, pabrik, serta mesin weaving (penenunan) dengan rasio mencapai 192,65%.
Dhias sebelumnya pernah menyatakan sebelum berstatus PKPU, pihaknya telah menerima pengajuan opsi restrukturisasi dari Duniatex. Skemanya berupa memberikan pelonggaran terhadap pembayaran pokok utang selama 12 tahun.
Sedangkan proses PKPU opsi restrukturisasi akan termaktub dalam proposal perdamaian Yang akan ditawarkan Duniatex menjelang akhir proses PKPU. Persetujuan terhadap proposal ini yang menentukan status Duniatex selanjutnya. Jika proposal ditolak Duniatex akan dinyatakan pailit.
Sebelumnya, Direktur Kredit PT Bank Danamon Tbk (BDMN, anggota indeks Kompas100) Dadi Budiana menjelaskan recovery via kepailitan tak serta merta akan lebih kecil dibandingkan melalui PKPU.
“Recovery via pailit bisa lebih kecil atau tidak, tergantung dari banyak hal. Jika debitur (Duniatex) tidak kooperatif, atau dalam kasus dimana debitur melakukan kecurangan misalnya dalam pembukaan, maka belum tentu recovery dari kepailitan nilainya lebih kecil,” katanya kepada Kontan.co.id pertengahan September lalu.
Asal tahu, Bareskrim Polri sejak awal September lalu juga telah memulai investigasi terhadap Duniatex yang diduga melakukan fraud, penggelapan, pengabaian, dan pencucian uang.
Dadi juga bilang untuk mengantisipasi proses PKPU perseroan juga telah menyiapkan biaya provisi terkait eksposur kreditnya. Sayang Dadi dengan menjelaskan berapa nilainya, pun ia juga enggan menyebut berapa rasio jaminan yang dimiliki Bank Danamon.
Sementara dari laporan Debtwire, perseroan masih memiliki eksposur kredit senilai US$ 15 juta atau setara Rp 217 miliar kepada PT Delta Setia Sandang Asli Textile (DSSAT).
Ketika dikonfirmasi ulang, Dadi enggan berkomentar lebih lanjut soal perkara Duniatex. Ia bilang eksposur kredit perseroan ke Duniatex nilainya kecil, bahkan tak sampai masuk 15 kreditur yang punya nilai eksposur terbesar.
Sebagai informasi, sejumlah jaminan atas kredit yang diberikan perbankan juga berasal dari harta pribadi Bos Duniatex Sumitro, pun sejumlah jaminan yang dipegang kreditur perbankan juga bersifat multilateral. Ini bisa membuat proses PKPU makin kompleks.
Sumitro juga diketahui telah mengajukan perkara PKPU secara sukarela terhadap dirinya sendiri. Perkara ini juga telah dikabulkan bersamaan dengan perkara PKPU kepada enam entitas Duniatex pada 30 September 2019 lalu.
Meskipun akan berjalan kompleks, Wakil Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI, anggota indeks Kompas100) Catur Budi Harto juga masih menyatakan optimismenya atas potensi recovery yang bisa diraih dari perkara kredit macet Duniatex ini.
Bank terbesar di tanah air ini Agustus lalu menyatakan punya eksposur kredit ke Duniatex Group senilai Rp 1,8 triliun. Perinciannya cash loan senilai Rp 1,4 triliun, dan non cash loan senilai Rp 400 miliar.
Saat ini, status kredit perseroan ke Duniatex Group sendiri masih berada di kolektibilitas 2. Sedangkan untuk memitigasi resiko, perseroan menyatakan telah membentuk pencadangan hingga 20% dari nilai eksposur kreditnya.
“Kami akan mengikuti proses negosiasi yang sedang berlangsung hingga tercapai kesepakatan antar kreditur, dan dengan debitur. Untuk menjalankan bisnis yang prudent, kami juga telah melakukan pencadangan sesuai ketentuan,” kata Catur kepada Kontan.co.id.
Sementara itu Direktur Bisnis Korporasi PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI, anggota indeks Kompas100) Putrama Wahju Setyawan bilang semenjak diputuskan menyandang status PKPU perseroan belum menerima tawaran skema restrukturisasi dari Duniatex Group.
“Belum ada skema restrukturisasi, proses PKPU pun masih di fase pendaftaran tagihan hingga 14 OKtober 2019 mendatang,” katanya kepada Kontan.co.id.
Pada Juli lalu, bank berlogo angka 46 ini mengaku punya eksposur kredit senilai Rp 459 miliar yang berasal dari utang bilateral senilai Rp 158 miliar, dan utang sindikasi senilai Rp 301 miliar.
Saat ini, status kredit Duniatex di perseroan juga telah berada di level kolektibilitas 2. Meningkat dibandingkan Juli lalu. Sementara atas eksposur kreditnya tersebut, Putrama juga mengaku perseroan punya jaminan dengan rasio mencapai 250% dari nilai eksposur kreditnya.
“Saat ini masih kolektibiltas 2, kalau jika jatuh pailit baru bisa dikategorikan non performing loan (NPL),” lanjut Putrama.
Perkara kredit macet Duniatex bermula dari kegagalan PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST) membayar bunga senilai US$ 13,4 juta pada 10 Juli 2019 atas pinjaman sindikasi senilai US$ 260 juta. Kegagalan tersebut kemudian merembet, DMDT yang menerbitkan obligasi global senilai US$ 300 juta pada 12 Maret lalu gagal membayar bunga pertamanya senilai US$ 12,9 juta pada 12 September 2019.
Sementara perkara PKPU diajukan oleh salah satu pemasok Duniatex Group yaitu PT Shine Golden Bridge. Dari lansiran Debtwire, dalam permohonannya Shine Golden diketahui menagih utang senilai Rp 1,69 miliar atau setara US$ 121.000.
Sedangkan enam entitas Duniatex yang jadi termohon adalah DMDT, PT Delta Dunia Textile (DDT), PT Delta Merlin Sandang Textile (DMST), DSSAT, dan PT Perusahaan Dagang dan Perindustrian Damai alias Damaitex.
Enam entitas tersebut tercatat menanggung utang senilai Rp 18,79 triliun atau setara US$ 1,33 miliar yang berasal 24 pinjaman bilateral, tiga utang sindikasi, dan utang obligasi.
Reporter: Anggar Septiadi
Editor: Tendi
Sumber: kontan.co.id, Selasa, 08 Oktober 2019 / 20:57 WIB