Jakarta. Setelah permohonan penundaan kewajiban penundaan utang (PKPU) ditolak oleh majelis hakim, PT Mitra Mandiri Priharum (MMP) kembali menggugat PT Sriwijaya Makmore Persada (SMP). Kali ini adalah gugatan pailit .
Sekadar tahu saja, PT MMP mengklaim PT SMP memiliki utang kepadanya sebesar Rp 8 miliar yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sejak 2013 silam. Adapun utang tersebut merupakan pembayaran kedua yang timbul dari perjanjian keduanya dalam hal pembangunan proyek jalan tol Kayuagung-Jakabaring, Palembang. Dimana dalam perjanjian tersebut MMP mengklaim pihaknya adalah pemkrasa dari proyek tersebut.
Mengenai hal itu, kuasa hukum PT SMP Harry V. Sidabukke bersikukuh tidah pernah memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih terhadap PT MMP. Masih sama seperti dalam PKPU terdahulu, ia bilang PT MMP bukan lah pemkrasa proyek jalan tol Kayuagung - Jakabaring di Palembang.
Menurut Harry, prakarsa kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur (KPBU) adalah adanya persetujuan dari penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) dalam bentuk penetapan yang menetapkan calon pemrakarsa sebagai pemrakarsa.
Hingga saat ini, lanjutnya, PT MMP belum pernah menerima persetujuan dan penetapan PJPK yang menyebutkan pemohon selaku pemrakarsa pembangunan jalan tol Kayuagung-Jakabaring. PT MMP hanya memberikan surat pernyataan maksud (letter of intent/LOI) dan belum memenuhi persyaratan yang dibutuhkan sebagai pemrakarsa.
"Pemrakarsa proyek pembangunan jalan tol ditetapkan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) No. 13/2010 tentang KPBU," ungkap Harry kepada KONTAN, Rabu (24/8).
Dengan demikian ia menilai permohonan kepailitan ini tidak dapat membuktikan secara sederhana kalau memang adanya utang. Dimana, hal itu tidak sesuai dengan Pasal 8 ayat 4 UU kepailitan dan PKPU sehingga permohonan patutnya untuk ditolak.
Sementara itu, menurut kuasa hukum PT MMP Yutcesyam, kliennya merupakan pemrakarsa proyek, tetapi pelaksanaannya diambil alih oleh termohon. "Kedua pihak menyepakatinya dalam bentuk perjanjian penggantian biaya proyek," ungkapnya.
Ia mengklaim, PT SMP juga telah mengakui utang tersebut melalui tanggapan atas surat somasi dengan bersedia membayar senilai Rp 600 juta. Penetapan jatuh waktu utang berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan dalam somasi kedua yakni pada 25 April 2016.
Sekadar tahu saja, sebelum permohonan kepailitan ini diajukan, PT MMP pernah mengajukan permohonan PKPU kepada PT SMP. Tapi permohonan itu ditolak oleh majelis hakim dengan pertimbangan utang tang diklaim tidak bisa dibuktikan secara sederhana.
Majelis juga saat itu Menilai, dalam persidangan, PT MMP belum bisa membuktikan dalil tersebut. Pasalnya, belum adanya surat keputusan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menyatakan hal demikian. Sehingga, dinilai status MMP hanya sebagai calon prakarsa bukan pemrakarsa.
Maka, majelis berpendapat pembayaran tahap kedua itu dapat dilakukan jika MMP telah ditetapkan sebagai prakarsa proyek. Dalil termohon pun yang membantah terkait klaim utang dinilai sudah tepat dan beralasan hukum.
Reporter Sinar Putri S.Utami
Editor Adi Wikanto