JAKARTA. Memasuki tahun 2021, permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) masih terus terjadi. Hal ini diyakini karena imbas pandemi covid-19 yang belum berakhir.
Mengutip data dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) dari 5 pengadilan niaga (PN) yakni PN Jakarta Pusat, PN Medan, PN Semarang, PN Surabaya dan PN Makassar, tren PKPU dari kuartal ke kuartal sejak tahun 2020 cenderung mengalami peningkatan.
Tercatat, pada kuartal I - 2020 terdapat 117 permohonan PKPU dan 31 permohonan kepailitan. Kemudian, pada kuartal II-2020 terdapat 127 permohonan PKPU dan 17 permohonan kepailitan.
Permohonan PKPU tercatat mencapai 212 permohonan PKPU dan 29 permohonan kepailitan pada kuartal III-2020. Sedangkan pada kuartal IV-2020 terdapat 181 permohonan PKPU dan 38 permohonan kepailitan. Selanjutnya, pada kuartal I-2021 tercatat sebanyak 199 permohonan PKPU dan 36 permohonan kepailitan.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) HImpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan, meningkatnya permohonan PKPU terjadi karena banyak pengusaha kesulitan likuiditas setahun terakhir ini. PKPU bisa saja terjadi karena diajukan oleh pihak kreditur atau juga oleh pihak debitur sendiri.
"Banyaknya PKPU ini terjadi secara alamiah karena pandemi yang berkepanjangan," ujar Ajib ketika dihubungi, Minggu (25/4).
Ajib menilai, dari sudut pandang ekonomi, adanya kontraksi ekonomi yang cukup dalam sebagai akibat pandemi membuat dunia usaha relatif kesulitan mengatur cashflow untuk terus menjalankan roda bisnis nya.
Sedangkan dari sudut pandang hukum bisnis, justru para pelaku usaha semakin melihat bahwa alternatif PKPU adalah alternatif jalan tengah agar tidak pailit dan adanya kepastian hukum atas penyelesaian masalah kredit berjalan.
Ia menilai, kreditur mempunyai kepastian dan jaminan dari kurator agar debitur bisa melakukan pola pembayaran yang bisa diterima. Karena kecenderungan di lapangan, sisi "kemauan" pembayaran hutang ini yang dilihat kurang dari pihak debitur.
Sedangkan dari sisi debitur, sisi positifnya adalah, ketika pola restrukturisasi secara konvensional terlalu complicated, maka PKPU bisa menjadi sebuah shortcut agar lebih ada kemudahan pola pembayaran.
"Yang perlu dikaji lebuh detail secara kualitatif dan kuantitatif adalah, pengajuan PKPU ini karena "kemauan" atau karena "kemampuan" bayarnya yang bermasalah. Perkiraan Hipmi, di tahun 2021 akan semakin banyak pengajuan PKPU ketika pola restrukturisasi konvensional perbankan tidak diperpanjang atau tidak ada deviasi kebijakan yang mempermudah debitur," ujar Ajib.
Senada, Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Jamaslin James Purba mengatakan, dalam kondisi pandemi sekarang, memang perusahaan - perusahaan mengalami kesulitan untuk berbisnis secara normal. Aktivitas bisnis banyak terganggu karena penjualan (sales) terganggu, sehingga income (pendapatan) juga terganggu.
Selanjutnya, pemenuhan kewajiban - kewajiban terhadap mitra bisnis juga berpengaruh. Ia menilai, dalam kondisi tersebut maka pilihan restrukturisasi melalui PKPU merupakan pilihan terbaik. Bagi para kreditur, restrukturisasi PKPU juga tentu lebih memberikan kepastian tentang jadwal - jadwal pembayaran maupun pemenuhan kewajiban debitur sesuai hasil negosiasi di dalam PKPU.
"Baik debitur maupun kreditur sama - sama tidak punya alternatif pilihan kecuali berdamai di PKPU. Kreditur pada umumnya mayoritas memilih berdamai dan memberikan kesempatan pada Debitur untuk memundurkan pelaksanaan kewajibannya," ujar James.
Praktisi Hukum sekaligus Advokat dari Kantor Frans & Setiawan Law Office, Hendra Setiawan Boen menilai, peningkatan perkara PKPU dan kepailitan masih akan berlanjut selama pandemi covid-19 belum berakhir. Terlebih, akhir-akhir ini kasus covid-19 kluster perkantoran mulai melonjak di DKI Jakarta.
"Dengan belum selesainya masalah pandemi covid-19 di indonesia maka perkara PKPU dan pailit juga akan meningkat," ujar Hendra.
Reporter: Vendy Yhulia Susanto |
Editor: Handoyo
Sumber: kontan.co.id, Minggu, 25 April 2021 / 16:38 WIB