JAKARTA – Selain 12 isu yang telah dibahas sejak tahun lalu, Tim Penyusunan Naskah Akademik tahun 2018 soal RUU Kepailitan juga memasukkan 11 isu baru dan diharapkan bisa masuk Prolegnas 2019.
Isu baru yang masuk itu a.l. soal kewenangan panitera dalam pemeriksaan Pasal 6 ayat (3) dan 224 ayat (6), biaya kepailitan dan PKPU, keterbukaan informasi dari kurator, dan kewenangan hakim pengawas.
Adapun isu lama antara lain syarat kepailitan dengan menambah jumlah kreditur menjadi dua dan besaran utang minimal ditentukan, pembuktian sederhana dari kata ‘harus’ menjadi ‘dapat’ dalam Pasal 8 ayat (4), serta memasukkan soal kepailitan lintas batas negara.
Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Jamaslin James Purba mengatakan pembahasan RUU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini sangat penting dan menjadi perhatian publik. Pasalnya, regulasi yang baru harus mengikuti perkembangan hukum bisnis global dan melibatkan organisasi kurator dalam penyusunannya.
“Sebelum UU No. 37/2004 ada Perpu No. 1/1998 tentang Kepailitan dan PKPU. Perpu itu perlu dihadirkan karena saat itu Indonesia pascakrisis moneter. Sementara UU No. 37 belum mengakomodir sisi praktisi karena tidak melibatkan organisasi kurator,” kata kata James kepada Bisnis, Minggu (26/8).
Dia berharap RUU Kepailitan ini bisa dibahas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Target itu realistis lantaran saat ini DPR sedang sibuk proses pencalegan.
“Tergantung tim ini [Tim Penyusunan Naskah Akademik RUU Kepailitan dan PKPU] bekerja. Kalau tidak ada poin krusial, ya, sebenarnya tidak ada masalah lagi.”
James mengatakan bahwa hingga saat ini baik AKPI dan tim penyusun naskah akademik terus menggodok RUU itu untuk meminta saran dan masukan dari praktisi kurator dan pengurus dalam bentuk forum group discussion. Setelah selesai akan dilanjutkan sosialisasi ke daerah.
Di sisi lain ahli kepailitan Ricardo Simanjuntak mengatakan UU Kepailitan sudah waktunya mewujudkan cross border insolvency. Sebagai informasi Indonesia adalah salah satu penggagas regulasi cross border insolvency di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Regulasi yang diusulkan dalam RUU Kepailitan nantinya memungkinkan kurator Indonesia dalam penyelesaian kepailitan untuk menyisir aset debitur yang berada di sejumlah negara Asean.
“Singapura, pada 22 Mei 2017 lalu, dalam reformasi hukum kepailitannya sudah mengadopsi cross border insolvency. Indonesia tidak bisa menghindari ini,” kata Ricardo.
Menurutnya, hukum kepailitan Indonesia tidak cukup dipraktikan di dalam negeri saja tetapi terkait pula dengan hukum internasional.
Pengacara dari lulusan Master in International Commercial Law dari Universitas Nottingham (Inggris) ini mengutarakan bahwa ekonomi Asean merupakan miniatur ekonomi masyarakat Uni Eropa yang menerapkan regulasi cross border insolvency. “Maka tidak mungkin Indonesia tidak menerapkan cross border insolvency,” tuturnya.
Masalah lain yang diajukan adalah soal automatic stay, yakni terhitung sejak permohonan kepailitan atau PKPU didaftarkan ke PN Niaga maka seluruh harta kekayaan debitur tidak boleh dijual, dialihkan atau tidak ditransaksikan.
Selain itu, diajukan pula soal kreditur pemegang jaminan dalam kepailitan yang diberikan hak eksekusi selama 6 bulan dan setelahnya diberikan kepada kurator.
Soal kepailitan badan usaha milik negara (BUMN), daerah dan desa diusulkan agar diatur lebih tegas siapa yang dapat menjadi pemohon dan jenis badan usaha yang dapat dimohonkan pailit atau PKPU.
Oleh: Yanuarius Viodeogo
Editor: M. Taufikul Basari
Sumber: sumatra.bisnis.com, 27 Agustus 2018 | 02:00 WIB