DANA TALANGAN: dari Ketakutan Gugatan Pailit hingga Kegagalan Restrukrisasi Utang
JAKARTA - Salah satu alasan yang paling mendasar adalah pemberian dana talangan ini dilakukan untuk menghindarkan gugatan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang untuk Garuda Indonesia dan risiko kegagalan restrukrisasi utang bagi Krakatau Steel. Namun, apakah kebijakan ini akan efektif?
Pemerintah mengungkapkan sejumlah alasan soal pemberian dana talangan kepada dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah berstatus sebagai perusahaan terbuka, Garuda Indonesia dan Krakatau Steel.
Salah satu alasan yang paling mendasar adalah pemberian dana talangan ini dilakukan untuk menghindarkan gugatan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang untuk Garuda Indonesia hingga risiko kegagalan restrukrisasi utang Krakatau Steel yang telah dilakukan sejak tahun lalu.
Dalam bahan paparan yang dikutip Bisnis, Rabu (27/5/2020), pemerintah setidaknya membagi dua kategori yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk memberikan dana talangan ke dua perusahaan yakni PT Garuda Indonesia Persero Tbk. (GIAA) & PT Krakatau Steel Tbk (KRASS).
Pertama, untuk GIAA pertimbangan utamanya adalah kepemilikan saham pemerintah yang masih dominan di angka di atas 60 persen, kebutuhan kas jangka pendek, dan chip in ekuitas yang tidak favourable bagi pemegang saham minoritas.
Kedua, urgensi dukungan dana dari pemerintah ini menyangkut status Garuda Indonesia sebagai maskapai nasional yang menghubungkan kepulauan Nusantara, menghindarkan monopoli penerbangan, hingga benchmark dari negara lain seperti Jerman, Singapura dan Malaysia.
Sementara terkait KRAS, selain kebutuhan kas dalam jangka pendek, pemberian dana talangan ke perusahaan yang 80 persen dikuasi negara juga tak lepas dari posisi strategis perseroan sebagai perusahaan baja nasional dan sekaligus untuk menjaga daya saing baja nasional.
Seperti diketahui pemerintah telah memberikan suntikan dana dengan skema dana talangan ke dua BUMN berstatus perusahaan terbuka. Untuk menyelamatkan 'nasib' dua perusahaan terbuka ini, pemerintah rela merogoh kocek hingga Rp11,5 triliun atau masing-masing Rp8,5 triliun (GIAA) & Rp3 triliun untuk KRAS.
Adapun, pilihan pemerintah terkait skema pemberian dana talangan berupa investasi nonpermanen lewat SMV Kemenkeu ke PT Garuda Indonesia Tbk dibandingkan penyertaan modal negara masih menyimpan beberapa pertanyaan.
Dari informasi yang dihimpun Bisnis, skema ini dipilih karena status Garuda yang merupakan perusahan terbuka dan kabar beredar menyoroti lobi yang dilakukan oleh salah satu pemegang saham.
Baca Juga : Turbulensi Pandemi Mengikat Sayap Garuda
Menilik laporan tahunan PT Garuda Indonesia Tbk, sebagian besar saham perusahaan berkode emiten GIAA dimiliki pemerintah dengan komposisi saham sebanyak 60,5 persen. Sementara PT Trans Airways salah satu lini usaha konglomerasi CT Group memiliki saham sebanyak 25,6 persen. Sisanya dimiliki publik sebanyak 13,8 persen.
Direktur Jenderal (Dirjen) Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Rachmatarwata menegaskan bahwa keputusan memberikan dana talangan bukan PMN didasarkan hasil telaah antara Kementerian BUMN & Kementerian Keuangan.
Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa permasalahan di setiap BUMN ternyata beragam. "Selama ini disimplifikasi dengan PMN. Salah satunya GIAA, memang ada masalah modal juga. Tetapi yang saat ini yang dihadapi adalah operasional," kata Isa belum lama ini.
Hadijah Alaydrus
Editor : Edi Suwiknyo
Sumber: bisnis.com, 27 Mei 2020 | 08:58 WIB