JAKARTA — Tim kurator kepailitan PT Multicon Indrajaya Terminal mulai menginventarisir aset debitur dan meminta para kreditur untuk mengajukan tagihan hingga 31 Mei 2017.
Kurator juga akan menginventarisir aset debitur pailit lainnya, seperti Hiendra Soenjoto, Peiter Paais, Ahzar Umar dan Asma Admi Usman. Salah satu kurator PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Permata Daulay mengatakan aset tetap yang dicari berupa tanah, karena perusahaan banyak bergerak di sektor depo kontainer.
“Masalahnya, ada yang milik dan sewa, di Surabaya, Semarang, Medan, Jakarta dan Lampung. Mengenai aset lain kami belum melihat, takutnya sudah ada yang dijaminkan ke bank,” tuturnya seusai rapat kreditur perdana, Senin (22/5). Permata berharap pengumpulan aset diharapkan tidak terkendala karena adanya konflik internal perusahaan.
Kreditur yang sudah menunjukkan tagihannya a.l. Kawasan Berikat Nasional (KBN) yang diajukan pada 15 Mei dan KPP Madya Jakarta Utara pada 17 Mei.
Dalam rapat perdana, kuasa hukum Ahzar Umar meminta hakim pengawas untuk menunda rapat verifikasi, mengingat adanya Inbreng bermasalah dan persoalan kepungurusan atau saham PT Multicon Indrajaya.
“Hiendra Soenjoto secara melawan hukum telah melakukan upaya penguasaan PT MIT, melakukan perubahan anggaran dasar dengan Inbreng bermasalah, dan melawan hukum melalui PT Unitras Nusa Jaya dengan cara Inbreng aset milik negara,” tutur R. Catur Wibowo, kuasa hukum Azhar Umar.
Aset milik negara yang dimaksud adalah tanah TNI AL di Marunda senilai Rp3 triliun, yang berakibat pada terdilusinya saham milik Azhar Umar. Azhar diketahui merupakan salah satu direktur yang memagang 5.155 lembar saham perseroan.
Permata menganggap penyebab kepailitan ternyata tidak sekadar kesulitan finansial, tetapi juga konflik internal perusahaan. Hanya saja, soal keputusan penundaan rapat verifikasi akan dikembalikan ke hakim pengawas.
Sementara itu, tiga perusahaan investasi asing Asean China Investments Fund II L.P. , UVM Venture Investments L.P dan SACLP Investments Limited yang sebelumnya berhasil mempailitkan PT Multicon Indrajaya Terminal menanti pengembalian utang.
Kuasa hukum pemohon F. Libarani Sandhi mengatakan pihaknya menanti perkembangan pengembalian kewajiban debitur. “Kami menanti perkembangan, pengumpulan aset debitur. Mengenai persoalan konflik internal mereka, kami tidak terlalu mengerti,” katanya.
Perusahaan terminal peti kemas yang telah lalai melaksanakan kewajibannya itu memiliki utang kepada para pemohon senilai US$50,32 juta atau Rp678,03 miliar. Sebenarnya, utang tersebut merupakan warisan utang dari induk usaha PT Multicon Indrajaya Terminal, yakni PT Multigroup Logistic Company.
Para pemohon pailit telah mengucurkan kredit investasi kepada induk usaha pada 30 April 2013. Sayangnya, induk usaha tidak mampu membayar sehingga diputus penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 3 November 2016.
Padahal, induk usaha masih menyisakan utang tertunggak. Sehingga, para pemohon pailit berupaya mempailitkan anak usahanya yaitu PT Multicon Indrajaya Terminal yang berperan sebagai penjamin perusahaan (corporate guarantee). Pasalnya, PT Multicon telah mengikatkan diri sebagai penjamin atas pembayaran utang PT Multigroup Logistics Company kepada para pemohon pailit.
Sementara itu, debitur pailit lain, Hiendra Soenjoto juga meminta penundaan rapat verifikasi. Permintaan Direktur Multicon tersebut berkenaan dengan upayanya untuk menjaring investor di Singapura.
Hanya saja, hakim pengawas tidak bisa mengubah jadwal yang sudah ditentukan dengan permintaan penundaan, biarpun alasannya adalah tengah mencari investor.
Selain itu, usulan untuk mendahulukan pembayaran karyawan juga diutarakan dalam rapat tersebut. Multicon yang memiliki karyawan lebih dari 400 orang ini, belum membayar gaji selama lebih dari 3 bulan.
Terhadap permintaan tersebut, kurator berharap kuasa hukum ataupun Manajer HRD PT Multicon Indrajaya Terminal untuk mengajukan tagihan normatif.
"Silahkan diajukan, dihitung tagihan nominalnya berapa. Masalah karyawan ingin diwakilkan oleh HRD ataupun kuasa hukumnya, bebas saja,” kata Permata.
David Eka Issetiabudi
Editor : M. Taufikul Basari
Sumber: bisnis.com, Selasa, 23/05/2017 02:55 WIB